Dapat Pacar Seksi Dari Resepsi Pernikahan Teman

Cerita Seks Terbaru, Cerita Dewasa Hot, Cerita Mesum Seru - Setelah sebelumnya cerita seks mesum Boss Mesumku di Kantor Juga di Ranjang, kini ada cerita seks terbaru Dapat Pacar Seksi Dari Resepsi Pernikahan Teman, selamat membaca.
Dapat Pacar Seksi Dari Resepsi Pernikahan Teman
Dapat Pacar Seksi Dari Resepsi Pernikahan Teman

Cerita Sex Dapat Pacar Seksi Dari Resepsi Pernikahan Teman

Mendatangi pernikahan teman sebetulnya hal yang cukup menyebalkan. Menghadapi berbagai pertanyaan seperti, “Kapan nyusul?”, atau “Undangan dari kamu kapan?” cukup membuatku kesulitan mencari cara untuk menjawabnya. 

Aku Panji, 28 tahun. Usia yang sudah sepantasnya menikah seperti kebanyakan teman-temanku. Namun sayangnya aku masih hidup sendiri. Bukan tanpa alasan, aku pernah beberapa kali menjalin hubungan dengan wanita tapi sayang berakhir ditengah jalan. Berbagai macam alasan terjadi, beda agama lah, pacaran jarak jauh lah, dan yang terakhir karena orang tuanya ingin anaknya cepat-cepat ditimang. Bukannya aku tidak mau menikahi pacarku itu, tapi aku masih pekerja kelas bawah dengan gaji pas-pasan dan tabunganku sendiri belum cukup untuk membiayai resepsi pernikahan yang bisa habis puluhan bahkan ratusan juta. 


Aku sendiri yatim piatu tanpa sanak saudara di Jakarta ini. Orang tuaku meninggal dalam kecelakaan beberapa tahun silam. Tidak banyak keluarga dekat yang aku kenal, dan sekalipun aku kenal, mereka tinggal entah dimana. Jadi aku sebatang kara hidup di Ibukota yang keras ini. Tanpa paksaan dan dorongan orang tua, aku pun tidak terlalu memikirkan untuk menikah. Sudah terbiasa aku bila memang harus hidup sendiri seperti itu. 
Hari itu, Sabtu, minggu ke dua bulan Maret aku menunggangi sepeda motorku kencang. Tujuanku siang ini adalah pernikahan Dendy, salah seorang teman dekatku waktu sekolah dulu yang melangsungkan pernikahannya hari ini. 
Gedung resepsi yang terletak dibilangan Cijantung tidak terlalu jauh dari rumahku di Pasar Minggu. Cuacapun mendukung perjalanan, tidak panas menyengat, tapi tidak menandakan akan hujan juga. 
Dendy ini terbilang berkecukupan, Ayahnya yang jenderal dan Ibunya yang pengusaha butik membuatnya hidup serba ada. Pernikahannya sendiri sangat mewah karena yang ia nikahi adalah anak dari teman ayahnya sesama anggota TNI, Risty namanya. Aku sudah dikenalkan Dendy saat mereka pertama kali berpacaran sekitar dua tahun yang lalu. 
Sesampainya di gedung tempat resepsi, segera ku parkirkan motorku. Meski motorku yang paling butut diantara semua motor yang ada diparkiran, aku tetap percaya diri apa adanya. Dengan setelan jas paling bagus yang pernah ku miliki, aku mantapkan langkahku memasuki gedung. 
Setelah mengisi daftar tamu dan menerima souvenir, aku pun terperangah melihat suasana pernikahan Dendy. Sungguh mewah. Tampak banyak orang penting hadir mengingat ayah Dendy dan Risty cukup memiliki pangkat, aku pun dengan santai mengantri untuk mendapat giliran berjabat tangan dengan Dendy. 
Ditengah kesibukannya menyalami tamu yang datang di singgasana pernikahannya, Dendy melihatku dan meneriakan namaku dari jauh.
“Panjiii!” Teriak Dendy riang.
Aku hanya menoleh dan melambaikan tangan. Wajahnya dan Risty terlihat begitu bahagia. Aku turut berbahagia untuk mereka. 
Antrian cukup panjang karena tamu yang ramai. Begitu ku sadari, ternyata di depanku berdiri seorang wanita cantik. Aku memang tidak bisa melihat jelas wajahnya, namun tadi begitu Dendy memanggil namaku dan aku melambaikan tangan, ia menoleh kebelakang sebentar dan aku dapat menangkap wajahnya sekilas.
Wanita dengan sepatu hak tinggi yang membuat tingginya sama denganku ini memiliki tubuh proporsional yang menarik. Pinggulnya sedang dengan pinggang ramping, kaki dan leher yang jenjang, serta rambut hitam panjang yang dibiarkan terurai indah. Belum lagi wanginya yang membuatku cukup merinding. Hanya melihat punggungnya yang terbalut kebaya putih saja, aku sudah ingin memeluknya dari belakang.
Tinggal beberapa orang saja didepanku sampai aku bisa bertemu dan berjabat tangan dengan Dendy saat wanita di depanku hampir jatuh karena hak sepatunya yang tinggi terantuk undakan panggung tempat mempelai. Sontak aku menopang tubuhnya, tanganku memegangi pinggangnya dan menahannya yang hampir jatuh karena kehilangan keseimbangan tersebut. 
“Ehh, gak apa mbak?” Tanyaku padanya yang masih kupegangi saat itu. Wajahnya terlihat memerah, mungkin karena malu harus menghadapi kejadian seperti itu. 
“Enggak kok, ga apa apa...” Jawabnya singkat dengan memelas. Aku pun membantunya berdiri. 
“Bener gak apa, mbak? Engkel kakinya sakit gak?” 
Ia menggeleng.
“Makasih ya, mas...” katanya malu-malu. Aku hanya mengangguk dan meneruskan antrian.
Begitu mendekat ke arah Dendy, belum sempat aku memberikan selamat, Dendy langsung meledekku.
“Bisa aja nih, Panji pegang-pegang Cindy. Pulangnya bareng sekalian gak?” Ledek Dendy yang disambut tawa renyah dari Risty.
Wanita yang berdiri di depanku hanya tersipu malu, “Apa sih Dendy...” 
Aku hanya terkekeh kekeh mendengar ledekan Dendy. “Mana mau cewek cakep, bening, mulus kayak begitu naik motor bebek bututku?” Pikirku dalam hati menimpali kata-kata Dendy. 
“Udah jangan banyak omong, selamat dulu ah...” Kata ku sambil berjabat tangan dengan Dendy. “Ntar malem kalau bingung, sms aja ya...” Ledekku balik. 
Dendy dan Risty hanya tertawa terbahak-bahak mendengar ledekanku. Terdengar Cindy juga ikut tertawa kecil. 
“Iya deh, Ji. Makan dulu sana, anak kosan kapan lagi makan enak sepuasnya gratis?” 
“Hahaha sial kau, Den...” Jawabku sambil berlalu dari pasangan yang berbahagia itu. 
Selesai memberikan selamat kepada kedua orang temanku tersebut, kini saatnya memberikan selamat kepada perutku yang sudah lapar dari tadi dengan memberikan makanan enak yang mungkin tidak bisa kutemui sebulan sekali dalam hidupku yang cukup sulit ini. 
Tanpa malu-malu, ku sendok nasi dan beberapa lauk yang cukup menggiurkan. Ku ambil segelas jus jeruk yang tersedia dan mencari tempat duduk di bagian luar gedung yang sudah disediakan dengan tenda. 
Dengan tangan kanan memegangi piring dan tangan kiri memegangi gelas jus jeruk, mataku terus mencari bangku kosong untukku duduk dan menikmati hidangan ini. Mataku tiba-tiba tertuju ke arah Cindy yang duduk dibarisan cukup belakang, ku lihat bangku di kanan kirinya kosong. Tanpa menunggu lama, segera ku sambangi dirinya yang sedang menikmati puding di piring kecilnya. 
“Hai, kosong gak?” tanya ku pada Cindy sambil memberikan isyarat ke bangku sebelahnya.
“Eh, Mas yang tadi. Kosong kok. Silakan...” Jawabnya.
Aku pun duduk dan meletakan gelas jus ku di bagian bawah kursiku. 
“Makannya dikit banget? Lagi diet?” Ledekku, padahal aku dan dirinya belum berkenalan secara resmi, namun aku cuek dan santai saja seperti sudah kenal lama. 
“Hihihi...” Ia cekikikan, “Aku bukan anak kosan...” Jawabnya singkat. 
“Hahahaha, sial!” Jawabku, rupanya ia mendengar saat Dendy meledekku yang anak kosan. 
“Cindy kan, namanya?” Tanyaku lagi. “Sendirian aja?”
“Berdua, kok.” 
“Oh ya? Sama siapa?” Tanyaku penuh selidik.
“Sama mas lah. Ini kan lagi berdua...” jawabnya sambil tertawa kecil. Rupanya ia orang yang cukup humoris.
Aku tertawa mendengar jawabnya, kali ini tawaku tidak bisa terlalu lepas karena sambil menikmati makanan. 
“Bisa aja si eneng...” Jawabku. “Eh tapi serius, sendirian aja? Gak ada yang nemenin atau anterin?”
Cindy menggelengkan kepala sambil menyuap sesendok puding ke dalam mulutnya.
“Temennya Dendy apa temennya Risty?”
“Temen deketnya Risty waktu sekolah dulu, kalau masnya?”
“Ohh, aku temen deketnya Dendy waktu sekolah juga...”
Ia hanya menganggukan kepala mendengar jawabanku. 
Sesekali ku perhatikan Cindy, matanya yang bulat dan hidung mancung terlihat menawan. Pipinya tidak terlalu besar dan tidak terlalu tirus. Tampak lembut dan halus. Wajahnya begitu menenangkan jiwa saat dipandang seperti ini. Kali ini jantungku sedikit berdegup kencang saat memandanginya. 
Selesai menyantap makanan, kami pun melanjutkan obrolan. Cindy bercerita banyak tentang dirinya dan Risty sewaktu sekolah dulu, aku pun menceritakan banyak hal tentang diriku dan Dendy. Tidak perlu waktu lama sampai kami benar-benar akrab dan merasa nyaman untuk menceritakan tentang diri masing-masing. 
“Kamu tinggal dimana, Ji?” Tanyanya.
“Di pasar minggu, deket UNAS. Kamu dimana?”
“Oh, di mampang. Ngekos.”
“Oh ngekos, emang aslinya darimana?”
“Bandung, dari SMA di jakarta. Tadinya tinggal sama Bibi. Tapi pas udah kerja gini sih ngekos aja deh biar enak.” Jawabnya.
“Biar enak ngajak pacar maksudnya?” Ledekku.
Cindy hanya tertawa, “Aku gak punya pacar...”
“GILA!” teriakku, membuat Cindy cukup kaget.
“Apanya yang gila, Ji?” tanya Cindy sedikit bingung.
“Cewek secantik kamu gak punya pacar? Emang cowok yang kenal sama kamu udah gila semua?” Tanyaku. Sedikit gombalan dan rayuan seperti ini memang aku ahlinya.
Muka Cindy kembali memerah, ia tersipu malu. “Hahaha, bisa aja kamu. Kamu sendiri, udah punya pacar?”
“GILA!” Teriakku lagi, “Gila! Mana ada cewek yang mau sama aku!” Balasku diiringi tawa renyah Cindy. 
“Duh kamu Ji, bisa banget ngehiburnya...” Ujar Cindy sambil mencubit lenganku. Sakit, tapi aku tidak peduli. Kulit Cindy terlalu lembut untuk membuatku marah.
Aku pun dengan nekatnya menawarkan untuk mengantarkan Cindy pulang dengan sepeda motorku.
“Kamu aku anterin pulang mau gak?” Tanyaku, “Tapi naik motorku, yang itu tuh..” Tunjukku ke arah motorku yang terparkir sendiri kali ini karena beberapa tamu sudah pulang.
“Hahhaa, emang aku punya tampang cewek yang cuma mau naik mobil yah?” Tanya Cindy balik.
“Ya gak tau, makanya nanya...” Balasku.
Cindy mengangguk, “Ngerepotin gak kalau anter aku dulu?”
“Wah, kalau urusannya sama eneng, gak ada yang namanya ngerepotin neng.” Balasku. Cindy kembali tertawa. 
Kami berdua menerjang jalanan berdua dengan sepeda motor. Karena Cindy menggunakan rok, ia pun duduk menghadap samping dengan tangannya memeluk erat tubuhku. Rejeki sekali hari ini bisa makan enak dan membonceng gadis cantik pulang, pikirku dalam hati.
Akhir pekan, sore hari, tentu bukan waktu yang tepat untuk melalui jalan utama Ibukota. Macet dimana-mana. Ditambah kawasan Cijantung Jakarta Timur ini memang terkenal kemacetannya.
“Maaf ya, Cin. Macet, panas ya?” tanyaku.
“Enggak apa, Ji. Namanya juga naik motor. Santai aja sih...”
Kami pun dengan penuh sabar melalui kemacetan, salip sana salip sini, akhirnya aku pun bisa melewati daerah macet dengan cepat. Namun sial, cuaca yang tadinya mendukung langsung berubah. Langit langsung menghitam gelap, udara lembab menyelimuti jalan. Hujan sepertinya akan turun sebentar lagi. 
“Ji, kalau ke rumah kamu dari sini, jauh gak?” tanya Cindy.
“Enggak, tuh belokan kiri depan, lurus aja langsung sampai...”
“Hmm, gimana kalau ke rumah kamu dulu? Kayaknya bentar lagi hujan. Kita gak akan bisa buru-buru sampai kosan aku, pancoran pasti macet...” 
Mendengar permintaan Cindy, aku senang bukan main. Langsung saja aku iyakan dan ku arahkan sepeda motorku ke arah rumahku yang sudah tidak jauh lagi. 
Keputusan Cindy tepat, begitu motor terparkir di garasi rumahku, hujan deras langsung mengguyur tanah kering sepanjang jalan dengan bau khas yang menyelimuti indera penciumanku. 
“Nah kan hujan kan...” Kata Cindy. Aku hanya mengangguk.
“Yuk, masuk dulu...” Aku memersilahkan Cindy masuk ke rumahku yang cukup mungil diantara rumah tetanggaku yang lain. 
“Enak gak Ji tinggal sendiri kayak gini?” tanya Cindy begitu ia duduk di sofa ruang tamu. Aku memang bercerita pada Cindy sewaktu makan tadi kalau aku tinggal dan hidup sendiri. 
“Tergantung..”
“Tergantung apa?” 
“Tergantung punya pacar apa enggak.” Jawabku sambil tertawa. Cindy pun ikut tertawa mendengar jawabanku. 
Kami pun menghabiskan sore yang hujan itu dengan membicarakan tentang kehidupan kami berdua lebih jauh ditemani segelas kopi untukku dan segelah teh hangat untuk Cindy. 
Semakin banyak yang aku tahu tentang Cindy, semakin membuatku jatuh hati padanya. Mungkin gombal, tapi aku seperti menemukan orang yang benar-benar tepat untuk menemani hidupku yang selalu penuh dengan kesendirian ini. 
Obrolan kehidupan ini tanpa disengaja sesekali menyerempet ke arah sensitif tentang seks. Aku pun dengan santai menceritakan bagaimana dulu pacarku yang hyperseks sering sekali mendatangi rumahku hanya untuk berhubungan seks. Cindy pun tidak mau kalah menceritakan pengalaman gilanya dengan pacarnya yang mengajaknya berhubungan badan di balkon kosannya tengah malam saat semua orang sudah terlelap.
Topik pembicaraan yang cukup panas membuatku sedikit gerah dan tidak bisa duduk dengan tenang, ditambah aroma tubuh Cindy yang memikat pikiran dari awal menghirupnya sudah membantu melancarkan peredaran darah ke arah penisku hingga sedikit demi sedikit mulai bangun dari tidurnya. 
“Eh Ji, ada kaos atau apa gitu gak? Pinjem dong, pakai kebaya gini gerah juga ternyata...” Tanya Cindy.
“Ada kok di kamarku, mau? Sebentar aku ambilkan...” Aku pun berdiri dan berjalan ke arah kamar, Cindy rupanya mengikuti ke kamarku. 
Ku ambilkan beberapa pakaian yang sepertinya muat untuk Cindy, tidak lupa celana pendek agar ia bisa duduk leluasa dibanding mengenakan roknya sekarang. 
“Yang ini aja deh...” Cindy mengambil satu kaos berwarna merah dan celana pendek berwarna coklat muda. Aku pun menaruh sisanya ke lemari lagi. 
“Ji, tolong dong bukain...” Pinta Cindy memunggungiku. Aku terbelak, Cindy memintaku untuk membukakan reseleting kebayanya yang sulit dijangkau oleh tangannya.
“Oh, iya Cin...” Ujarku sambil menelan ludah. Tanganku sedikit bergetar saat menurunkan reseletingnya. Perlahan ku lihat ikatan branya yang berwarna putih senada dengan kebayanya. Punggungnya yang halus tampak putih.
Entah apa maksud dan tujuan Cindy, tapi ia tidak memintaku keluar terlebih dahulu dari kamar dan langsung membuka kebayanya. Aku terpana, mataku tidak rela melepas pemandangan ini meski hanya sekejap. 
Sadar kalau aku sedang memerhatikan, Cindy hanya tertawa kecil. “Udah lama ya gak liat kayak gini?” Tanya Cindy yang sedang memamerkan bagian atasnya dengan buah dadanya yang masih tertutup bra. 
Aku mengangguk. Cindy tersenyum dan kembali memunggungi diriku. Kali ini ia membuka rok dan menurunkannya. Sekarang hanya dua bagian kecil tubuhnya yang tertutupi oleh bra dan celana dalamnya, sisanya, ku nikmati dengan mataku setiap senti kulit mulus Cindy.
“Udah lah nekat aja, siapa suruh kucing dikasih ikan.” Begitu pikirku dalam hati, dengan cepat ku dekap tubuh Cindy dari belakang dan ku lumat lehernya. Tanganku langsung menuju payudaranya yang cukup besar.
“Ahhhh, Jii...” Desis Cindy saat bibirku menempel di lehernya. Cindy tidak memberikan perlawanan.
Tanganku dengan leluasa bergerilya menelusuri setiap lekuk tubuh indah Cindy. Pengait bra-nya ku buka hingga payudaranya bergantung dengan bebas yang tanpa menunggu lama segera ku jelajahi tiap bagiannya dengan tanganku yang besar. 
Ku rasakan payudara Cindy yang mungil sudah mengeras seiring sentuhan lembut tanganku. Remasan remasan kecil dengan gemas di payudaranya membuat tubuh Cindy sedikit bergetar.
Tangan kanan yang sibuk dengan payudara Cindy, membuat tangan kananku turun gunung. Ku turunkan ke bagian bawah, ku usap perut Cindy terlebih dahulu sampai hangat. Lalu ku mainkan pangkal pahanya yang masih terbungkus celana dalam tipis. 
Dari bagian luar celana dalamnya saja bisa ku rasakan bulu kemaluannya yang tipis menutupi bagian atas lubang kewanitaannya. Ku mainkan jariku disela-sela vaginanya dari balik celana dalamnya. Cindy menggelinjang.
“Ahhh, Jiiii... Geliiiii....” 
Aku semakin bersemangat memberikan kenikmatan pada Cindy. Lidahku tidak kunjung usai menikmati lehernya yang jenjang. Tangan kananku pun masih sibuk dengan payudaranya.
“Jii, aku gak kuat berdiri...” Keluhnya pelan. Aku pun menggiring Cindy ke arah kasur tanpa melepaskan tangan dan ciumanku di lehernya.
Segera saja ku rebahkan Cindy. Wajahnya tampak sayu, bibirnya kelu menahan kenikmatan diujung jalan yang sedang menanti untuk diantarkan memudar ke seluruh tubuhnya yang indah tersebut. 
Cindy mengigit jari telunjuknya, gerak tubuhnya seperti mengisyaratkan aku untuk kembali menikmati tubuhnya dan memberikannya sensasi kenikmatan tiada tara yang sudah lama ia tidak dapatkan. 
Aku pun menarik celana dalam Cindy yang sudah cukup basah terkena cairan hangat dari dalam vaginanya. 
Ku regangkan kedua kaki Cindy. Kini vaginanya yang hangat terlihat merekah dengan klitoris mungil yang menyumbul keluar meneriakan keinginannya untuk ku puaskan sore ini.
Aku pun berlutut dan tanganku melingkari paha Cindy. Tidak mau terburu-buru, ku kecupi kedua paha Cindy yang justru membuatnya semakin gila. Ia menarik tanganku.
“Jiiii, ihhh kamuuuu...”
Aku mendekatkan kepalaku ke arah vaginanya. Kedua tanganku kini bisa dengan leluasa memainkan payudaranya saat lidah dan bibirku sibuk dengan area wanita yang penuh kehangatan ini. 
Ku sapu bibir vaginanya dengan lidahku yang basah. Ku susupi lubangnya, lalu ku hisap klitorisnya sambil ku gigit gigit kecil. Cindy mengejang menerima rangsangan dari dua titik sensitif tubuhnya. Ia langsung berkeringat meski tidak lagi mengenakan kebaya dan hujan deras di luar yang mengantarkan udara dingin ke kamarku. 
“Panjiiiii aaargggghhhhh....”
Ku ulangi terus ritme permainan lidah, bibir dan tanganku di tubuh Cindy. Ku lakukan terus untuk mengejar orgasmenya. Ku ingin Cindy lemas tak berdaya sebelum penisku menyesaki vaginanya yang terasa nikmat itu. 
“Panjiii ohhhh jiiii argggggg aku keluar jiiiii....” teriak Cindy sambil ke dua tangannya menarik sprei kasurku. Kepalanya bergerak ke kanan dan kiri tak beraturan, rambutnya yang lembut itu kini tampak berantakan memenuhi kepala dan wajahnya. 
Cindy mengalami orgasmenya yang pertama. Cairan hangat dengan jumlah cukup banyak mengalir keluar dari lubang kenikmatannya. Aku menghisapnya, menjilatinya, menikmatinya tak tersisa hingga Cindy lemas tak berdaya. Ia terengah-engah, membiarkan kenikmatan menjalar disekujur tubuhnya yang basah. Mulutnya terbuka agar udara yang masuk ke dalam rongga dadanya semakin banyak, agar otaknya bisa berpikir jernih kembali setelah serangan bertubu-tubi dariku. 
Aku pun tersenyum melihat Cindy lalu bangkit untuk membuka bajuku. Saat baju sedang ku lepas, Cindy bangun dan duduk di tepi kasur, tepat di hadapanku. Ia membantu membuka celanaku.
“Curang ya, aku udah gak pake apa-apa, kamu baru mau buka baju, hih.” Kata Cindy manja sambil mencubit perutku. Aku hanya tertawa kecil.
Cindy pun menurunkan celana dan celana dalamku. Penisku yang sudah tegang terpampang jelas di depan Cindy. Tangan kanannya meraih penisku dan menggenggamnya lembut. Di kocoknya perlahan dengan wajah yang melirik ke arahku. Aku hanya merapihkan rambutnya yang tampak berantakan, menyatukannya dalam satu genggaman tangan dan mengusap lembut kepalanya yang basah.
Tak lama, Cindy menjulurkan lidahnya. Ia mainkan lubang penisku dengan lidah mungilnya yang membuatku cukup geli. Dibuka sedikit mulutnya dan dimasukan kepala penisku dan memainkan lagi lidahnya. Nikmat sekali. 
Begitu penisku masuk seluruhnya ke dalam tubuh Cindy, terasa suatu getaran dari penisku yang menjalar ke seluruh tubuh. Aku sudah sering merasakan hal seperti ini, tapi dengan Cindy begitu berbeda. Kenikmatan yang sangat nyaman dan menggoda, menjadi satu dalam naungan bibir Cindy yang sedang berusaha memuaskan dahaga penisku yang menggelora. 
Gerakan lembut Cindy mengeluar-masukan penisku dari dalam mulutnya membuatku terdiam. Kupandangi wajahnya yang cantik. Kali ini ada nafsu dan cinta yang kurasakan dengan Cindy. Membuat semua sentuhan dengan dirinya terasa semakin menyenangkan dan tidak bisa diselesaikan begitu saja. 
“Shhhh, Cindddd. Pinter banget sih kamu....” Desisku penuh kenikmatan. 
Cindy lalu melepas penisku dari mulutnya dan mengocoknya. Penisku yang penuh dengan air liurnya semakin memudahkannya untuk mengocok. Sesekali ia mencium kepala penisku dengan bibir tipisnya yang lembut. 
“Punya kondom, gak?” Tanya Cindy dengan tangannya yang masih memegangi penisku. “Kalau mau lanjut, harus pake kondom.” Tambahnya. 
Aku mengangguk. Segera ku ambil persediaan kondom yang ku punya di laci. Beberapa bungkus kondom dengan kotak berwarna merah ini awalnya ingin ku buang, namun ku urungkan karena takut aku butuhkan sewaktu-waktu. Ternyata waktu itu akhirnya datang. 
Ku pegangi dua bungkus kondom dengan kotaknya sambil ku dekati Cindy lagi. Ku rebahkan tubuhnya, lalu ku lumat bibirnya. Lidah kami bertemu dalam paduan hangat pagutan bibir kami berdua. Ku usap kepala dan wajah Cindy tanpa melepaskan ciuman.
Cindy yang sibuk melayani serangan bibirku pun menjulurkan tangannya mengambil kondom yang sedang ku pegangi. Tanpa basa-basi dan melepaskan ciuman, ia merobek bungkus kondom.
“Ada yang udah gak sabar nih?” Ledek ku berbisik di kuping Cindy.
“Oh gak mau?” Balasnya meledekku. Aku hanya tertawa kecil sambil menciumi pipinya. 
Cindy meraih penisku yang masih tegang dan memasangkan kondom. Ia begitu pintar membuka dan memasangkan kondom ke penisku meski ciuman kami berdua tak berhenti sedetik pun.
Aku pun menindih tubuh Cindy sambil memegangi ujung kondom di pangkal penisku. Kondom tipis tersebut semakin tipis karena penisku yang cukup besar membuatnya terdorong membesar. Ini memang salah satu kondom kesukaanku karena tidak mengurangi rasa saat bercinta yang nikmat. 
Aku melepaskan ciumanku dan memandangi wajah Cindy. Ku gesek gesekkan penisku ke bibir vagina Cindy. Ia melenguh pelan, matanya terpejam. Setelah posisi penisku tepat, ku dorong perlahan masuk. Setiap senti penisku yang memasuki vagina Cindy melebur dengan baik menjadi kenikmatan tiada tara bagi kami berdua. 
“Oooooohhhhh Panjiiiiiiiii, nikmat jiiii...” Desis Cindy tatkala penisku sudah masuk seluruhnya ke dalam vaginanya. 
Aku menciumi leher Cindy lagi dengan tanganku menopang ke ranjang agar pinggulku bisa dengan leluasa menggenjot vaginanya yang berkedut kencang. 
Perlahan tapi pasti, ku desakkan penisku keluar masuk vagina Cindy yang kencang. Setiap kedutannya terasa begitu nikmat sepanjang penisku. Aku begitu menikmatinya, pun Cindy dengan mata yang tertutup dan mulut terbuka untuk mengatur nafasnya yang tersengal. 
Gerakan seperti ini yang sudah ku pelajari dari dulu dan bisa menjamin disukai wanita karena bisa membuat mereka lebih menikmati aksi penisku sampai mereka orgasme berkali-kali. 
Benar saja, baru sekitar 4 menit aku menggenjot Cindy, tangannya langsung mendekap dan mencakar punggungku.
“Terus Jiiiii, aku mau keluar jiiii.... Ohhhhh Ohhhhhh.”
Dan benar saja, cakaran Cindy semakin keras dan liar saat orgasmenya yang kedua menerjang keluar.
“ARGGGGHHHH PANJIIIII!” Teriak Cindy. Tubuhnya mengejang, kepalanya mendongak dan mulutnya terbuka lebar. Keringatnya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.
Ku rasakan kedutan di vagina Cindy melemas seiring klimaks yang ia rasakan. Aku membiarkannya sebentar untuk menyesuaikan kembali ritme vaginanya dengan genjotan penisku. 
Aku menciumi leher dan dada Cindy untuk membantunya membangkitkan gairahnya. Cindy mendekap kepalaku di dadanya kali ini, dengan penis yang masih tegang menancap di vaginanya. 
“Masnya, kok pinter banget muasin perempuan sih masnya?” Bisiknya pelan saat aku sedang menciumi lehernya.
“Kenapa? Suka banget ya?” Tanyaku sambil mencium hidungnya.
Cindy mengangguk manja. Bibirnya sudah membesar dan memerah, karena gigitan gigitan gemasku saat berciuman dengannya. Itu justru membuatnya semakin cantik dan sensual sekali. 
“Aku mau diatas dong...” Pinta Cindy. Aku mengangguk dan merebahkan tubuhku di ranjang. 
Cindy pun bangkit, dan menggenggam penisku dengan gemas. Ia lalu duduk diatas ku dengan posisi membelakangiku. Penisku diarahkannya lagi ke lubang kenikmatannya. Aku bisa melihat bagaimana wajah Cindy yang terbalut nafsu birahi dari kaca yang ada di dinding tepat di depan Cindy. 
Penisku kembali menghujan vagina Cindy. Ia menahan tubuhnya dengan berpengangan pada pahaku dan membiarkan pinggulnya bergoyang naik turun. Ku lihat bagaimana indahnya payudara Cindy bergoyang dan wajahnya yang penuh kenikmatan dari kaca. 
Aku menikmati momen dengan meremas pantat Cindy dan membantunya menggenjot penisku agar ia bisa mencapai orgasmenya lagi. 
“Uuhhhh Jiiii... Ohhhhh....” Lenguhnya kencang.
Aku membiarkan Cindy mengejar kenikmatannya.
Sesekali ia menggoyang pinggulnya maju mundur, membuat penisku terasa tersedot masuk lebih dalam di vaginanya. Kali ini giliranku yang mencengkram punggung Cindy. 
“Panjiiiiii! Aku mau keluar lagiiii ohhhhh Panjiiiiii...” Erang Cindy. Ia pun memutar tubuhnya menghadapku dan aku pun bangkit dari tidur.
Kini posisi duduk ini membuatku semakin bergairah, karena payudara Cindy yang indah kini ada tepat di hadapanku dan penisku terasa semakin dalam masuk vaginanya. 
Cindy menggoncang pinggulnya lebih cepat, naik turun tanpa ampun. Cindy mengejar kepuasannya dengan liar dan dahaga yang sepertinya belum juga terpenuhi. 
“Ahhh, aku juga mau keluar Cinnnn.....” Desisku sambil meremas payudara Cindy lebih kencang.


Genjotan Cindy semakin cepat, dan erangan kami berdua pun semakin keras. 
“ARGGGGGHHHHHH!” 
Lenguhan kami memenuhi ruangan saat kami mencapai klimaks disaat yang bersamaan. 
Kami berdua pun ambruk membiarkan tubuh kami terkulai lemas di ranjang. Cindy berbaring menghadapku dan aku menghadap Cindy. Aku melihatnya semakin cantik saja saat ia bisa memuaskan dirinya dan diriku disaat bersamaan. 
Ku kecup kening Cindy. Ia pun tersenyum ditengah nafasnya yang masih tersengal.
“Nakal!” Ujarnya manja sambil mencium hidungku. Aku pun menarik tangannya dan menciumnya.
“Kamu mau jadi pacar aku?” Tanyaku. Cindy mengangguk lalu mendekap tubuhku.
“Aku milik kamu, Ji...” Bisiknya ditelingaku. 


Kami pun tertidur pulas hingga tengah malam. Begitu terbangun ku lihat handphoneku, Dendy mengirimkan pesan, “Pulang sama Cindy gak?” sekitar 4 jam yang lalu. Aku tidak membalasnya, biarkan lah Dendy menikmati malam bersama Risty seperti aku menikmati malam dengan Cindy. Cerita Seks Terbaru, Cerita Dewasa Hot, Cerita Mesum Seru
Next
« Prev Post
Previous
Next Post »